kepercayaan dan kesabaran

Kami berjalan dalam kegelapan.
Kami yang tak memiliki apapun untuk jadi batu sandungan.
Kami kehilangan arah.
Kami tersesat dalam ilustrasi nyata atas nama kegelapan.

“Kepercayaan..? Kepercayaan..?” teriak kami mencari.
Dimanakah dia? Yang kami panggil kepercayaan.
Dimanakah kepercayaan?

Kemana kami harus pergi?
Kemana kami harus berjalan?

Kami dengar suara rindu sungai.
Alirannya berbisik seakan ingin mengajak berlalu.
Haruskah kami percaya?
Akankah kami tenggelam?

Kami dengar pohon-pohon tertawa.
Sepertinya itu suara gema dari luar,
ada pesta meriah rayakan “menangnya” kemunafikan.
Haruskah kami percaya atas kemenangannya?
Haruskah kami ambil bagian?

Kami menengadahkan kepala,
hujan mulai turun.
Pesta itu turut berhenti dan tenggelam terbawa arus sungai.
Sungai neraka ternyata.
Pohon-pohon mulai menyanyikan keheningan.
Beberapa menangis.

Ternyata hujan kebenaran [buat kami].
Hujan kutuk [bagi pesta itu].

1 dari kami berteriak,”Kepercayaan!”.
Dia mengangkatnya tinggi, seakan itu piala olimpiade.
Dia mulai tertawa, kami turut mengikuti tingkahnya.
Kami mulai menari dan bernyanyi.

Dari Timur, cahaya mulai bangkit.
Ternyata kami tidak tersesat.
Ternyata kami masih punya batu sandungan.

Yang kami butuhkan hanya kepercayaan dan kesabaran.


Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.